Jumat, 24 Juni 2016

Sejarah Perkembangan Majalah

Halo Blogers! Janggal rasanya bila blog kami ini tidak menginformasikan tentang sejarah perkembangan majalah, nah maka dari itu, kali ini kita akan mebahas sedikit tentang perkembangan majalah di Indonesia.

The Gentleman's Magazine (www.images.ourontario.ca)
Pertama kali munculnya majalah di dunia adalah diawali dengan majalah Erbauuliche Monachts-Unterredungen (1663-1668) yang diterbitkan oleh Jhonn Rist, dia adalah seorang teolog dan penyair dari Hanburg, Jerman, Tetapi majalah tersebut kurang terkenal, sehingga banyak yang mengira bahwa majalah yang pertama kali muncul di dunia adalah The Gentleman's Magazine, yang diterbitkan pada tahun 1731 di London dan berhenti terbit pada September 1907. Edward Cave adalah editor dari majalah tersebut di bawah nama pena "Sylvanus Urban". Dia adalah orang pertama yang menggunakan istilah "majalah" di analogi sebagai gudang militer dari berbagai material, yang berasal dari bahasa arab yaitu "makazin" (Achmad Dzakky, 2013).

Majalah The Spectator, (www.itsnicethat.com)
Perkembangan majalah pada tahun 1970, Richard Steele menerbirkan majalah bernama "The Tatler", Joseph Addison dan Richar Steele juga menerbitkan majalah The Spectator. majalah tersebut berisi masalah politik, berita-berita internasional, tulisan yang mangandung unsur-unsur moral, berita-berita hiburan, dan gosip.

Kemudian perkembangan majalah merambat ke Indonesia, sebelum Indonesia merdeka, majalah sudah terlebih dahulu masuk ke Indonesia. Pada tahun 1914 muncul sebuah majalah pembawa kaum kerani atau juru tulis kebun yang mengawali perkembangan majalah di Indonesia, nama majalah tersebut adalah De' Craine. Kemudian pada tahun 1939 terbit sebuah majalah yang bernama "Perintis" dari Banjarmasin. Majalah tersebut adalah majalah dwimingguan yag beredar dikalangan supir (Achmad Dzakky, 2013) tetapi majalah-majalah tersebut tidak mampu bertahan lama di dunia jurnalistik Indonesia.

Di awal kemerdekaan Indonesia, majalah mulai berkembang kembali dengan terbitnya majalah yang bernama "Pantja Raja" di Jakarta, majalah ini dipimpin oleh oleh Markoem Djojohadisoeparto dan diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara, di Ternate juga terbit majalah mingguan yang bernama "Menara Merdeka" yang diterbitkan oleh Arnold Monoutu dan Dr, Hassan Mossouri Oktober 1945 berisi berita-berita dari Radio Republik Indonesia. Ada juga majalah yang menggunakan bahasa jawa pada saat itu, nama majalahnya adalah "Djojobojo" dan diterbitkan oleh Tadjib Ermadi, di Blitar juga ada majalah Jawa yaitu "Obor" (Suluh).

Kemudian Soemanang SH menerbitkan sebuah majalah yang bertujuan memusnahkan kekuasaan Belanda yang masih bersisa di Indonesia, dalam majalah tersebut juga dia mengajak rakyat untuk bersama-sama berani mengusir dan melawan penjajah, nama majalahnya adalah "Revue Indonesia".

Majalah Revenue Indonesia (www.djamandaholoe.com)
Banyak bermunculan majalah pada masa orde lama, tetapi jarang ada yang bertahan lama, majalah yang eksis pada masa orde lama salah satunya adalah "Star Weekly", ada juga majalah yang berasal dari Bogor yaitu "Gledek" tapi tidak bertahan lama.

Semakin berkembangnya zaman, maka diikuti pula oleh majalah yang terus berkembang dengan tampilan yang di kemas lebih menarik dan memiliki informasi yang berbobot. Semoga ke depannya media cetak, khususnya majalah tidak tersingkirkan oleh media elektronik dan semoga kedepannya juga Indonesia mampu mencetak majalah yang terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia, mari kita wujudkan bersama-sama.

Jeremy Thomas, Agustinus Mahardika, & Yustinus Bigar

Sumber :

Dzakky, Achmad. No date. Sekilas Perkembangan Majalah. (muspen.kominfo.go.id). http://muspen.kominfo.go.id/index.php/berita/339-sekilas-perkembangan-majalah

Majalah Tempo Dinilai Melanggar Kode Etik Jurnalistik

Hai bloggers! Dalam post kali ini kami akan membahas tentang Majalah Tempo yang melanggar kode etik jurnalistik. Kebebasan berpendapat di Indonesia banyak disalahgunakan oleh rakyat, terutama media jurnalistik, maka wartawan Indonesia membuat kumpulan kode etik jurnalistik. Sebelum kita membahas lebih jauh lagi tentang Majalah Tempo yang dinilai melanggar kode etik jurnalistik, ada baiknya kita mengetahui isi dari kode etik jurnalistik yang disahkan pada 14 Maret 2006, seperti yang dijelaskan oleh dewan pers dalam laman darigngnya (dewanpers.or.id, 2011), sebagai berikut:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, mengahsilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikat buruk.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang mengahkimi, serta menerapkan asas praduga tidak bersalah.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Pasal 5
Wartawan Indoensia tidak menyebutkan dan menyiarkan, identitas korban kejahatan asusila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaanya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita, berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perdebaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendhkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat, disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Majalah Tempo bisa dikatakan cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia, tetapi majalah kelahiran 6 Maret 1971 ini, juga pernah dinilai melanggar kode etik jurnalistik. Pada edisi 26 Maret 2012, majalah Tempo memuat informasi yang berjudul "Ochadi, Korban Sengketa Makindo; Terjepit Sengketa Raja Gula (h. 32); Gugatan Dua Saudara (h. 44-48); dan Taipan Nyentrik di ST Regis (h. 58-60)" (Kristanto, 2012).


Majalah Tempo ed. 26 Maret 2012 (Tempo.co, 2012)
Pada edisi tersebut, Tempo menuduh pengusaha Gunawan Yusuf memiliki banyak hutang, padahal sudah jelas tidak ada bukti di pengadilan. Seperti yabg dipaparkan dalam kompas.com bahwa Hotman Paris selaku kuasa hukum Gunawan, menjelaskan, putusan Dewan Pers itu dikeluarkan dalam surat tertanggal 19  September 2012, yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Bagir Manan SH. MCL. Pengaduan Gunawan kepada Dewan Pers terkait pemebritaan Tempo itu diajukan pada 12 April. "Kami mengadu ke Dewan Pers, karena menghormati kemerdekaan pers" kata Hotman, Selasa di Jakarta pada 2 Oktober 2012 (Kristanto, 2012).

Jelas saja kasus terebut sudah melanggar kode etik jurnalistik pasal yang ke-3 yang berisi , "wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah". berkaitan dengan hal terebut, maka sesuai dengan pasal 10 kode etik jurnalistik, Tempo secepatnya segera mencabut berita tersebut dan diikuti permintaan maaf kepada Gunawan dan pembaca majalah Tempo.

Dengan adanya kasus ini, ada pelajaran yang kita dapat, yaitu dalam menyebarkan informasi, seharusnya kita lebih teliti dan tidak sembarangan memberi opini yang menghakimi orang lain. Sebagai rakyat yang beretika, pintar dan bijak, seharusnya tidak menyalahgunakan kebebasan pers. Saran kami untuk pemerintah, seharusnya lebih tegas lagi dalam menegakan hukum dan sanksi bagi jurnalis dan siapapun yang melanggar kode etik jurnalistik sesuai dengan undang-undang yang berlaku, agar pers di Indonesia bisa lebih  maju dan memiliki kualitas yang diakui dunia.

Jeremy Thomas


Sumber
Kristanto, T. A. (02 Oktober 2010). Majalah Tempo dinilai langgar kode etik jurnalistik. Kompas. Dikutip dari kompas.com
DewanPers. (18 Juli 2011). Kode etik jurnalistik. Dikutip dari dewanpers.or.id
Anonim. (26 Maret 2012). Bandar calon DKI-1. Tempo. Dikutip dari tempo.co

Kamis, 23 Juni 2016

Majalah Djaka Lodang Lestarikan Budaya Jawa

Djaka Lodang ed. 24 Mei 2008
Majalah Djaka Lodang berdiri pada tanggal 1 Juni 1971. Djaka Lodhang adalah majalah mardika berbahasa Jawa yang didirikan oleh Kusfandi (alm) dan Drs. H. Abdullah Purwodarsono di Yogyakarta. Darsono di bantu oleh temannya, Kusfandi yang pada saat itu memiliki tempat percetakan untuk membantu memberinya modali sehingga di bentuk Yayasan Kartika Sakti.

Diadakannya rapat bersama untuk menentukan nama dari majalah itu, awalnya akan diberikan dengan nama Surkuning. Nama ini diambil karna pada masa itu Surkuning sedang menjadi buah bibir orang banyak karna berdasarkan kisah nyata berupa cerita miris yang dialami remaja perempuan yang di perkosa dan dibunuh oleh sejumlah pria, namun setelah konsultasi dengan Komandan Korem tentang menjadikan Surkuning sebagai sebuah nama dari majalah tersebut di tolak karna kasihan dengan cerita di balik nama tersebut. Akhirnya di putuskanlah dengan memakai nama Djaka Lodang yang di ambil dari karya Ronggo Warsito.

Abdullah Purwodarsono menuturkan alasan mengapa dia memilih menggunakan bahasa Jawa di majalah ini karena dia ingin melestarikan bahasa Jawa. Maka jika ingin menceritakan budaya Jawa tentu menggunakan bahasa Jawa dan juga bahasa Jawa sejatinya adalah bahasa ibu.

Majalah Djaka Lodang tidak pernah memiliki konten yang menggebrak masyarakat karna sesuai dengan moto yang tertera di sampul majalah tersebut yaitu " Ngesti Budhi Rahayu Mungatmakari Jakatanyar". Ngesti Budhi Rahayu yang berarti berusaha untuk keselamatan, Mungatmakari Jakatanyar berarti tidak ketinggalan kemajuan zaman. Jadi Djaka Lodhang tidak pernah membuat masyarakat heboh dengan konten yang di muat di majalah karna berangkat dari motto tersebut.

Majalah Djaka Lodang selain dijual di agen-agen, namun  juga dijual pada pelanggan tetapnya, serta bagi pembaca yang berada di luar Jogja dapat membelinya secara daring melalui website.
Iklan Majalah Pada Djaka Lodang Juga dengan Bahasa Jawa

Tentu saja Majalah Djaka Lodang pernah mengalami masa-masa sulit. Dalam wawancara bersama Abdullah, ia menuturkan bahwa hal itu terjadi pada saat ini karena kurangnya minat pembaca untuk membaca majalah dengan bahasa Jawa serta sudah semakin lunturnya kelestarian penggunaan bahasa Jawa di kalangan masyarakat Jawa (10/06).

Saat ini majalah Djaka Lodang di produksi 5000 cetak dengan harga Rp. 13.000.-. Jika teman-teman  ingin mengisi konten dan mengirimkan surat pembaca bisa langsung di antar atau dikirimkan ke alamat Djaka Lodang : Jl. Patehan Tengah No. 35 Yogayakarta (55133). Mari sama-sama kita melestarikan budaya daerah kita sendiri jangan sampai kita tidak mengenal dan  meninggalkan budaya yang sebenarnya sudah mendarah daging ini.

Sumber
 Wawancara Drs. H. Abdullah Purwodarsono, 10 Juni 2016.


Dimuat oleh: Lady Arsa Nabila, Yustinus Bigar, &

Jeremy Thomas
 

Soekarno jadi Cover Majalah TIME

Hai bloggers! Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas mengenai keterkaitan cover yang diterbitkan oleh Majalah TIME. Majalah TIME merupakan majalah fenmenal yang lahir di Amerika Serikat pada 03 Maret 1923. Perlu diingat pula bahwa majalah ini dianggap berpengaruh dalam penyebaran informasi menarik dan juga tak luput dari isu-isu politik. 
Komponen utama yang pertama kali diperhatikan oleh pembaca ialah cover atau halaman depan dari majalah tersebut. Cover majalah juga sebagai salahsatu penentu banyaknya pembaca yang berminat untuk membaca majalah tersebut karena cover merupakan salahsatu bentuk packaging.
Seokarno sebagai Presiden Indonesia kala itu pernah menjadi cover Majalah Time. Cover tersebut digunakan dalam penerbitan majalahnya pada 23 Desember 1946 yang ditulis oleh Robert Sehrood. 
TIME ed. 23 Desember 1946
Pada cover itu digambarkan wajah Soekarno yang tegas dan semangat, diikuti dengan banyaknya tangan yang meraih bendera merah putih sebagai latar belakangnya dengan warna-warna pada cover yang cerah, tegas, dan berani. Hal tersebut secara tidak langsung mengartikan bahwa "inilah Ia sang Presiden Indonesia yang berani melawan penjajah dan berhasil memimpin Indonesia ke pintu kemerdekaan. Ia lah Soekarno.". Cover tersebut terkait dengan isinya yang membahas mengenai diri Soekarno yang pandai berpidato, berani, dan gaya kepemimpinannya yang 'berapi-api'.
Ketika ada hal positif, maka ada pula hal negatif atas sesuatu. Hal itu pula yang diasumsikan menjadi latar belakang Majalah TIME untuk menerbitakan cover majalah dengan sosok Soekarno (lagi) pada edisi 10 Maret 1958. Pada cover kali ini, warna-warna yang digunakan dibuat berbeda dari cover yang pertama. Pada cover yang kedua lebih terlihat gelap dan wajah Soekarno digambarkan tampak kejam, serta ditambah pula dengan tulisan "CIVIL WAR IN ASIA" pada bagian kanan atas.

Berkaitan dengan cover, isi majalahnya kali ini membahas mengenai sisi negatif yang dimiliki Soekarno dan propaganda yang telah dilakukannya terhadap rakyat Indonesia. Salahsatu asumsi yang mendasari terjadinya kasus ini karena Amerika menganggap gaya kepemimpinan Soekarno yang menakutkan, maka dari itu banyak negara yang kala itu baru merdeka namun tetap memberikan simpati bagi Indonesia yang juga baru merdeka. Maka dari
TIME ed. 10 Maret 1958
itu Amerika merasa terancam dan akhirnya menerbitkan Majalah TIME dengan cover seperti itu dan akhirnya banyak yang memiliki anggapan buruk mengenai Soekarno.

Dari kejadian tersebut, muncullah sebuah kritik bahwa seharusnya sebagai jurnalis yang berkewajiban memberikan informasi yang sebenarnya untuk tidak melakukan tindakan ini hanya karena berorientasi pada suatu keuntungan. Jika media massa digunakan untuk menyampaikan informasi palsu demi suatu kepentingan, maka secara tidak langsung media melakukan pembodohan pada konsumennya. 
Jadi bagi kamu yang berkeinginan menjadi jurnalis, ayo mulai selektif sejak sekarang dalam membaca atau pun menemukan informasi baru dalam bentuk apapun. Jangan terlalu mudah tertarik dan percaya atas informasi yang ada di media, karena informasi bisa dimanipulasi.

Jeremy Thomas

Sumber: Maharani, A. (02 Juli 2012). Figur di Indonesia yang pernah menjadi cover majalah bergengsi TIME. bintang. Dikutip dari bintang.com
Link

Minggu, 19 Juni 2016

Budaya Pop, Sosial, dan Politik dalam Warning Magazine



Hai Bloggers! Hmm kalian pernah dengar Warning Magazine? Itu loh majalah yang isinya budaya pop dan banyak meliput tentang band indie. Yuk baca lebih lanjut untuk tahu gimana Warning Magazine bisa menjadi majalah yang cukup diperhitungkan sekarang.
 Warning Magazine merupakan majalah musik yang  mengusung konten musik populer dengan sisipan elemen-elemen sosial politik sekedarnya dan bersifat independen. Warning Magazine digagas dan didirikan oleh mahasiswa, serta dikelola sepenuhnya oleh kaum muda. Sebagai  majalah berkonten utama musik semata wayang yang berasal dari kota Yogyakarta, majalah Warning Magazine telah menjadi media yang diterima dengan baik oleh publik, terutama oleh para penikmat musik tanah air dengan jangkauan nasional, baik dari aspek pemasaran, peredaran, hingga konten yang disajikan.
Tajuk Sosial Politik
Warning Magazine lahir pada 22 Desember 2012 yang dipelopori oleh seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL, UGM) bernama Tomi Wibisono. Ide untuk membuat majalah ini ia dapat karena ada penyelenggaraan acara pameran zine bertajuk “Muak” pada pertegahan tahun 2012 yang berlokasi di Fisipol UGM. Dalam wawancaranya, Tomi menegaskan bahwa zine merupakan majalah nonkomersial yang hanya ditulis berdasarkan apa yang ingin dituliskan oleh penulisnya (Wibisono, 2016). Dalam wawacara pada 06 Juni 2016, Tomi Wibisono memaparkan bahwa berdirinya Warning Magazine bertujuan untuk membangun wadah alternatif yang mampu menampung inspirasi dan gairah berkarya anak muda dalam kajian jurnalistik dan budaya populer, khususnya di ranah musik populer.
Nama majalah ini diadaptasi dari lagu bertajuk “Warning” (dari album bertitel sama) milik Trio Punk Rock asal Amerika Serikat, Green Day, serta sajak populer seorang pujangga korban aksi represi pemerintahan Orde Baru, Wiji Thukul, yang bertajuk “Peringatan”. Nama Warning Magazine yang juga dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “Awas!”, yang diakui dimaknai sebagai sesuatu yang mengganggu, merisaukan, membuat cemas dan was-was, gaduh, membuat mangkal hati, hingga mampu menggoyahkan kemapanan dan stabilitas. Penafsiran tersebut juga berangkat dari perspektif Warning Magazine dalam tataran sosial-politik yang ingin disampaikan dalam potret pemahaman bahwa dunia ini sedang tidak baik-baik saja dan kenyamanan mampu mematikan kreativitas. Simbol tanda seru sebagai pengganti abjad ‘I’ yang kerap juga diturutkan pada praktik penulisan nama Warning Magazine di artikel-artikel tertentu (WARN!NG). Warna oranye menjadi warna sentral di luar warna dasar hitam dan putih. Warna oranye dipilih Tomi Wibisono lantaran dipandang sebagai warna paling agresif dan antusias. Warna oranye dinilai lebih bersifat mengundang huru-hara tanpa ingin jadi sesuatu yang dominan. Warna oranye juga menjadi simbol kebebasan, bagai warna senja. Masa senja yang jadi pertanda waktu kebebasan untuk mereka, yang tak lain adalah orang-orang yang mesti terkungkung dalam siklus kerja harian yang robotik di siang hari. 
Sampul Warning Magazine
Majalah cetak Warning Magazine memiliki kaarakteristik dengan ukuran 275 mm x 210 mm, posisi cetak vertikal dengan jumlah 80 halaman. Hanya sampul depan dan belakng Warning Magazine yang seluruhnya full color dan untuk isi hanya 10% yang full color. Ketika ditanyakan mengenai perihal ini, Wibisono menjelaskan bahwa keputusan tersebut diterapkan karena mengingat bahwa Warning Magazine yang dulunya lahir sebagai zine (Wibisono, 2016). Jenis kertas yang digunakan untuk halaman sampul depan dan belakang adalah Glossy Paper 120 gr dan untuk isi menggunakan kertas HVS 80 gr.

Pada awal penerbitannya pula Warning Magazine merilis situs resmi berbasis wordpress, yakni warningmagz.wordpress.com. Bersama logo dan atribut lain yang diperkenalkan saat itu, Warning Magazine sudah beroperasi sebagai media berbasis portal musik dan webzine yang menjalankan liputan, laporan, dan analisis tentang peristiwa-peristiwa dan dinamika industri musik populer. Kini seiring dengan perkembangannya Warning Magazine sudah memiliki domain dengan link www.warningmagz.com
Tampilan Halaman Utama Situs Resmi Warning Magazine
Dalam wawancaranya, Wibisono menuturkan bahwa Warning Magazine merekrut karyawannya dengan sistem magang terlebih dahulu selama dua bulan demi melihat kemampuan karyawannya. Program magang dari Warning Magazine tidak semata-mata untuk membuka lowongan pekerjaan bagi yang ingin bergabung menjadi bagian dari Warning Magazine, tetapi program ini juga dibuka bagi mahasiswa yang memubutuhkan program magang untuk kepentingan akademis.
Tiap edisinya, Majalah Warning Magazine memproduksi 1000 eksemplar untuk didistribusikan ke 39 titik penjualan yang ada di 13 kota di Indonesia (Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Depok, Makassar, Malang, Bali, Solo, Pontianak, Cirebon, Surabaya, Palembang, dan Balikpapan) yang dapat diperoleh dengan harga Rp. 25.000,-  dan satu titik di Singapura. Bagaimana Warning Magazine bisa ada di Singapura? Hal ini dapat dijelaskan melalui salahsatu visi Warning Magazine yang berisi “Warning Magazine mampu memaksimalkan status persebaran nasional dan internasional (Asia Tenggara) dengan meraih pembaca sebanyak mungkin.” tutur Wibisono (06 Juni 2016).

Sumber Konten:
Wawancara. Wibisono, T. 06 Juni 2016.

Patricia Liana C.

SELERA Untuk Mahasiswa



Secara harafiah sastra berasal dari bahasa sansekerta yang berarti teks yang mengandung instruksi, sedangkan dari kata “sas” berarti ajaran atau instruksi. Melihat perkembangan sastra di Indonesia, tak lepas dari gigihnya perjuangan generasi muda yang tetap semangat dalam era teknologi informasi dan komunikasi, ini merupakan salah satu perjuangan teman-teman dari FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).
Cover Majalah SELERA ed. 3
Dari generasi ke generasi, FISIP UAJY sudah membuat sebuah UKM (Unit Kegiatan Mahasiwa) guna mengapresiasi karya-karya sastra buatan mahasiswa. UKM tersebut lebih dikenal dengan sebutan “SPASI”. Salah satu bukti pengapresiasian tersebut adalah dengan diterbitkannya majalah “SELERA”. Majalah yang terbit mulai dari tahun 2014 ini memiliki cerita yang terbilang unik sebelum diterbitkan secara berkala dilingkungan kampus.
Paulus Angre Edvra atau yang lebih kerap disapa Ape, ialah salahsatu anggota SPASI yang sudah menjadi bagian tim pendamping dalam penerbitan majalah tersebut. Saat diwawancarai pada 05 Juni 2016 oleh Kongko Pers, Ape menuturkan bahwa sebelum memiliki wadah berupa majalah, SPASI hanya menempelkan selebaran (sastra) di depan kelas-kelas secara vandal, namun hasilnya mereka malah mendapat  teguran dari pihak fakultas. 

“Karena merasa kurang berguna, kami merubahnya menjadi majalah. Malahan dapat diterima dengan baik kok.” lanjut Ape saat ditemui di Gedung Don Bosco FISIP UAJY (05 Juni 2016).

Daftar Isi SELERA ed. 3
Dalam menerbitkan majalahnya, SPASI tidak mengambil keuntungan sepeser pun. Menurut Ape pribadi, Majalah SELERA merupakan gambaran dari semangat UKM SPASI untuk mengenalkan sastra pada masyarakat khususnya FISIP UAJY. Sehingga menurutnya akan sangat naif jika diberikan biaya karena belum tentu semuanya menyukai hal-hal mengenai sastra.
Saat pertama kali beredar, Majalah SELERA hanya dalam bentuk “fotocopy” saja, tetapi setelah beberapa kali penerbitan majalah SELERA mulai berbenah, agar desainnya lebih menarik dilihat, dimulai dari pembenahan “layout” dan pemberian warna pada majalah tersebut.
Di luar dari majalah, Ape berharap yang terbaik untuk SPASI kedepannya, “moga-moga aja SPASI tetap menghibur, dengan anggotanya yang tidak jelas itu.” guyonnya saat di wawancarai.
“Tetaplah bertahan, jangan cuma hangat diawal untuk anggotanya, dan semoga bisa mengeluarkan produk-produk yang dapat diterima masyarakat FISIP UAJY.” tutupnya.
Oh ya! Bagi kamu yang ingin melihat bagaimana karya sastra dari teman-teman SPASI namun tidak memiliki Majalah SELERA, kamu bisa akses di sini

Agustinus Mahardika, Patricia Liana, & Lady Arsa Nabila R