Minggu, 19 Juni 2016

Budaya Pop, Sosial, dan Politik dalam Warning Magazine



Hai Bloggers! Hmm kalian pernah dengar Warning Magazine? Itu loh majalah yang isinya budaya pop dan banyak meliput tentang band indie. Yuk baca lebih lanjut untuk tahu gimana Warning Magazine bisa menjadi majalah yang cukup diperhitungkan sekarang.
 Warning Magazine merupakan majalah musik yang  mengusung konten musik populer dengan sisipan elemen-elemen sosial politik sekedarnya dan bersifat independen. Warning Magazine digagas dan didirikan oleh mahasiswa, serta dikelola sepenuhnya oleh kaum muda. Sebagai  majalah berkonten utama musik semata wayang yang berasal dari kota Yogyakarta, majalah Warning Magazine telah menjadi media yang diterima dengan baik oleh publik, terutama oleh para penikmat musik tanah air dengan jangkauan nasional, baik dari aspek pemasaran, peredaran, hingga konten yang disajikan.
Tajuk Sosial Politik
Warning Magazine lahir pada 22 Desember 2012 yang dipelopori oleh seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIPOL, UGM) bernama Tomi Wibisono. Ide untuk membuat majalah ini ia dapat karena ada penyelenggaraan acara pameran zine bertajuk “Muak” pada pertegahan tahun 2012 yang berlokasi di Fisipol UGM. Dalam wawancaranya, Tomi menegaskan bahwa zine merupakan majalah nonkomersial yang hanya ditulis berdasarkan apa yang ingin dituliskan oleh penulisnya (Wibisono, 2016). Dalam wawacara pada 06 Juni 2016, Tomi Wibisono memaparkan bahwa berdirinya Warning Magazine bertujuan untuk membangun wadah alternatif yang mampu menampung inspirasi dan gairah berkarya anak muda dalam kajian jurnalistik dan budaya populer, khususnya di ranah musik populer.
Nama majalah ini diadaptasi dari lagu bertajuk “Warning” (dari album bertitel sama) milik Trio Punk Rock asal Amerika Serikat, Green Day, serta sajak populer seorang pujangga korban aksi represi pemerintahan Orde Baru, Wiji Thukul, yang bertajuk “Peringatan”. Nama Warning Magazine yang juga dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “Awas!”, yang diakui dimaknai sebagai sesuatu yang mengganggu, merisaukan, membuat cemas dan was-was, gaduh, membuat mangkal hati, hingga mampu menggoyahkan kemapanan dan stabilitas. Penafsiran tersebut juga berangkat dari perspektif Warning Magazine dalam tataran sosial-politik yang ingin disampaikan dalam potret pemahaman bahwa dunia ini sedang tidak baik-baik saja dan kenyamanan mampu mematikan kreativitas. Simbol tanda seru sebagai pengganti abjad ‘I’ yang kerap juga diturutkan pada praktik penulisan nama Warning Magazine di artikel-artikel tertentu (WARN!NG). Warna oranye menjadi warna sentral di luar warna dasar hitam dan putih. Warna oranye dipilih Tomi Wibisono lantaran dipandang sebagai warna paling agresif dan antusias. Warna oranye dinilai lebih bersifat mengundang huru-hara tanpa ingin jadi sesuatu yang dominan. Warna oranye juga menjadi simbol kebebasan, bagai warna senja. Masa senja yang jadi pertanda waktu kebebasan untuk mereka, yang tak lain adalah orang-orang yang mesti terkungkung dalam siklus kerja harian yang robotik di siang hari. 
Sampul Warning Magazine
Majalah cetak Warning Magazine memiliki kaarakteristik dengan ukuran 275 mm x 210 mm, posisi cetak vertikal dengan jumlah 80 halaman. Hanya sampul depan dan belakng Warning Magazine yang seluruhnya full color dan untuk isi hanya 10% yang full color. Ketika ditanyakan mengenai perihal ini, Wibisono menjelaskan bahwa keputusan tersebut diterapkan karena mengingat bahwa Warning Magazine yang dulunya lahir sebagai zine (Wibisono, 2016). Jenis kertas yang digunakan untuk halaman sampul depan dan belakang adalah Glossy Paper 120 gr dan untuk isi menggunakan kertas HVS 80 gr.

Pada awal penerbitannya pula Warning Magazine merilis situs resmi berbasis wordpress, yakni warningmagz.wordpress.com. Bersama logo dan atribut lain yang diperkenalkan saat itu, Warning Magazine sudah beroperasi sebagai media berbasis portal musik dan webzine yang menjalankan liputan, laporan, dan analisis tentang peristiwa-peristiwa dan dinamika industri musik populer. Kini seiring dengan perkembangannya Warning Magazine sudah memiliki domain dengan link www.warningmagz.com
Tampilan Halaman Utama Situs Resmi Warning Magazine
Dalam wawancaranya, Wibisono menuturkan bahwa Warning Magazine merekrut karyawannya dengan sistem magang terlebih dahulu selama dua bulan demi melihat kemampuan karyawannya. Program magang dari Warning Magazine tidak semata-mata untuk membuka lowongan pekerjaan bagi yang ingin bergabung menjadi bagian dari Warning Magazine, tetapi program ini juga dibuka bagi mahasiswa yang memubutuhkan program magang untuk kepentingan akademis.
Tiap edisinya, Majalah Warning Magazine memproduksi 1000 eksemplar untuk didistribusikan ke 39 titik penjualan yang ada di 13 kota di Indonesia (Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Depok, Makassar, Malang, Bali, Solo, Pontianak, Cirebon, Surabaya, Palembang, dan Balikpapan) yang dapat diperoleh dengan harga Rp. 25.000,-  dan satu titik di Singapura. Bagaimana Warning Magazine bisa ada di Singapura? Hal ini dapat dijelaskan melalui salahsatu visi Warning Magazine yang berisi “Warning Magazine mampu memaksimalkan status persebaran nasional dan internasional (Asia Tenggara) dengan meraih pembaca sebanyak mungkin.” tutur Wibisono (06 Juni 2016).

Sumber Konten:
Wawancara. Wibisono, T. 06 Juni 2016.

Patricia Liana C.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar